Ketika bumi diguncangkan

Dua tahun lebih tinggal di Jepang, aku mulai terbiasa dengan goncangan-guncangan gempa.  Saking seringnya, kalau ada gempa pasti hanya be...

Dua tahun lebih tinggal di Jepang, aku mulai terbiasa dengan goncangan-guncangan gempa.  Saking seringnya, kalau ada gempa pasti hanya bergumam, “Oh, gempa.” Lalu asyik lagi sama komputer,TV, atau lainnya. Tapi, Jumat tanggal 11 Maret lalu berbeda:

Kamis malam, email dari teman yang mengajak pergi ngaji hari Jumat dating. Karena harus kerja, dia terpaksa batal pergi. Karena baru bergambung dengan grup ngaji itu, belum kenal anggata lain dan tidak familiar dengan wilayah, rasa malas mulai meracuni tekad. Untung saja teman lain tetap bersemangat dating meski kondisinya sama sepertiku, belum banyak kenal anggota lain. “Cuek aja, gue juga belum kenal. Sok akrab aja.” Begitu katanya.

Jumat, sesudah beberes rumah sekenanya, berjalan kaki aku menuju kereta. Jumat ini, ngaji di daerah Minami Gyotoku,  prefektur Chiba.  Berada di tengah antara rumah dan kantor suami, rencananya pulang aku akan dijemput suami, lalu sama-sama ke Tokyo, baru kembali ke rumah kami di Yashio, prefektur Saitama. Perjalanan yang cukup jauh, lintas Prefektur. 

Diseling istirahat makan siang yang seru, tadurus Quran dimulai lagi. Jumat itu tidak ada ceramah, karena pengisi cermah tidak bisa hadir. Beberapa menit sebelum tadarus selesai, suamiku telepon. Rencana berubah. Karena tidak jadi ke Tokyo, aku harus ke Makuhari, tempat kantor suamiku berada.  Tak lama, pengajian pun selesai. Lalu… guncangan cukup keras mengayun tubuh dan barang-barang di rumah bahkan gedung.  “Gempa!”

Pikiran tenang “Oh, gempa,” hari itu tidak mucul di kepala. Guncangan lebih keras dari biasa dan berlangsung lama.  Karena tak kunjung henti, akhirnya sambil terhuyung-huyung menuruni tangga-Alhamdulillah, kami cuma berada di lantai 2 gedung tingkat tiga-kami keluar rumah menuju tempat yang jauh dari gedung.

Berdiri di lapangan parkir, sambil tetap bergoyang seirama goyangan bumi ditemani mobil yang juga bergoyang. “Gempa ini benar-benar kenceng. Orang Jepang aja sampai keluar rumah. Biasanya ga,” kata temanku. Mulut tak henti mengucap zikir dan doa, berusaha menenangkan diri dalam dingin. Tak ada yang sempat memakai jaket, padahal cuaca dingin karena masih musim dingin. Line telepon terputus! Sulit untuk melakukan panggilan. Tak lama, guncangan pun berhenti. Kami kembali ke dalam rumah, menyalakan TV untuk mengetahui di mana pusat gempa dan berapa kekuatannnya. Sebagian dari kami ada yang langsung pulang karena rumah mereka memang dekat.

Gempa kekuatan 8,9 telah memanggil tsunami menyapu Sendai. Terperangah melihat  gulungan ombak berwarna hitam di layar TV. Lalu guncangan keras kembali datang. Tidak sebentar! “Ayo, kita keluar!” Kembali kami menuju lapangan parkir. Kali ini lebih banyak orang yang keluar rumah.
“Daerah ini kan dekat laut, jadi khawatir,” DEG!

Waaah…!! Makuhari juga dekat laut! Telepon belum juga nyambung! Setelah guncangan mereda, kami kembali ke rumah. Kembali memantau berita di TV. Peringatan tsunami terlihat di layar. Seluruh Jepang berada dalam stasus waspada tsunami. Sementara beberapa tempat sudah digulung ombak. Melihat keluar jendela, semua tampak normal. Orang lalu lalang, tenang. Namun gempa masih datang terus. Hanya jeda beberapa menit, susul menyusul. Kadang agak besar, kadang kecil. Kepala sampai terasa pening. Bingung, gempa datang lagi, atau sisa goyangan gempa sebelumnya yang masih membuat badan berayun.

“Kita keluar aja, yuk! Di mana titik temu warga kalau ada bencana?” Tanya salah satu dari kami.
“Di taman situ, sih. Tapi orang-orang di luar biasa-biasa aja.”
“Ya… mungkin mereka ga tahu kalau ada peringatan waspada tsunami.”

Akhirnya, kami memutuskan keluar dari rumah. Setelah sholat asar, membawa bekal makanan dan minum seadanya, kami menuju titik temu saat bencana terjadi. Di sana sudah ada beberapa warga berkumpul. Namun tidak ada kepanikan. Semua tampak normal kecuali bumi yang sesekali masih bergoyang. Helikopter melintas di udara, lalu pergi.
“Katanya, sih, kalau helikompet cuma melintas sekali, artinya aman,” kata temanku.

Kucoba lagi menelpon. Masih gagal. Beberapa email dan sms masuk ke handpohone beriringan. Dari Jakarta, menanyakan kabar.  Keluraga dan teman. Rupanya berita gemp besar dan tsunami sudah sampai ke tanah air.  Tak satu pun yang berhasil kujawab. Kuulang lagi menelepon suami. Akhirnya berhasil! Lega rasanya saat tahu bahwa kami dalam keadaan baik-baik saja.  Akhirnya satu email dari Tari, teman di mantan kantor, berhasil terjawab. Aku minta tolong Tari untuk mengabri ibu supaya tidak khawatir. Telepon ke rumah di Jakarta masih belum berhasil.

Waktu berlalu dalam desau angin dingin dan getaran bumi. Tampaknya keadaan cukup aman. Satu per satu orang mulai meninggalkan lapangan, namun kami masih belum berani kembali ke rumah. Akhirnya kami memutuskan ke sebuah kantor pemerintah, tidak jauh dari lapangan. Di sana ada beberapa orang tua dan ibu-ibu muda bersama anaknya.

Menunggu sambil memantau berita dari televisi. Setelah beberapa lama, salah seorang staf kantor itu menghampiri kami, “Sudah ada pengumuman, bahwa daerah ini aman daerah tsunami. Sudah boleh pulang ke rumah, tidak apa-apa. Cuma masih akan ada banyak gempa. Kalau masih khawatir dan masih mau menunggu di sini, silakan. Kantor ini buka sampai pukul 21.00.” katanya. “Tapi, daerah ini kan dekat laut. Bagaimana kalau tiba-tiba kondisi jadi buruk dan datang tsunami?” salah satu temanku masih was-was.
“Memang, ini dekat laut, tapi teluk. Jadi tidak apa-apa.” Tambahnya. Fuuh. Meski lega, rasa khawatir tetap tersisa karena gempas masih juga datang susul menyusul.

Akhirnya, kami terpaksa pulang, karena waktu solat magrib sudah masuk. Kereta sudah tidak jalan, dan kondisi jalan masih belum jelas. Aku disuruh tetap bersama teman sampai suamiku bisa datang menjemput yang masih belum jelas kapan. Dalam hitungan menit gempa kembali berulang. Terus begitu. Peringatan tsunami masih terus diumumkan di televisi. Setelah sekian lama dalam gelisah, salah satu dari kami dijemput suaminya. Beruntung, rumah mereka dekat. Jadi bisa kembali ke rumah. Sementara aku dan Dewi, harus tinggal karena tidak ada kereta yang jalan. Akhirnya, malam itu aku menginap di rumah teman, sementara suami tinggal di kantor. Lalu, setelah beberapa jam, dua teman yang terdampar di stasiun karena kereta berhenti beroperasi datang ke rumah. Mereka pun terpaksa menginap di rumah Ima, karena rumah mereka jauh.

Jumat malam kami lewati dengan puluhan kali guncangan gempa dan alarm gempa dari handphone yang berdering berkali-kali. Sama sekali tidak bisa tidur. Alhamdulillah, aku tetap berangkat ngaji. Jika tidak, pasti aku harus melewati itu semua sendirian di rumah, ketakutan.


*Dimuat di Nova No. 1204/XXIV 21 - 27 Maret 2011*

You Might Also Like

0 komentar

Flickr Images